SELAMAT DATANG

.:Welcome::Ahlan Wa Sahlan::HOŞGELDİNİZ::환영합니다::Selamat Datang:.
.:( Assalamu'alaikum wr.wb... Salam sejahtera buat kita semua... ):.

Senin, 05 Desember 2016

(bukan kisah sedih) si Yatim Piatu

-kisah ini ditulis bukan untuk dikasihani atau ditangisi tapi untuk saling menyemangati-

Ku mulai kisah tentang kehidupan yatim piatu ku ini dengan bersyukur kepada Allah bahwa dengan menjadi seorang yatim piatu tidak lantas membuat hidup ku berakhir dan membuatku larut dalam kesedihan namun menjadi penambah rasa semangat dan rasa syukur dalam menjalani bagian kehidupan ini.

Sebelum pada akhirnya merasakan 'status' yatim piatu, aku terlebih dahulu merasakan piatu di umurku yg menjelang 9 tahun (7 Mei 2001), ibu (yg lebih sering ku panggil mama) meninggalkanku dan kedua saudaraku karena komplikasi dari penyakit diabetes yg mengerogoti jantungnya, beliau tutup usia menjelang umur 50 tahunnya. Kehilangan mama di usia yg masih kecil mungkin sedikit membuatku merasakan kehilangan kehangatan pelukan dan kasih sayang seorang ibu. Namun kepergiannya yg sedemikian cepat untukku itu memberikan kesadaran pada diriku bahwa selama 8 tahun menjelang 9 tahun itu tak ada sedetikpun yg terlewati oleh mama tanpa merawat dan memberiku limpahan kasih sayang dan cinta kasihnya dan tentu saja hal itu juga diberikan kepada kedua saudaraku. Rasa kehilangan pun perlahan sirna dengan seiring berjalannya waktu dan terganti dengan rasa tegar, kuat dan ikhlas menjalani hari-hari selanjutnya. Memang harus ku akui terkadang terselip rasa rapuh saat melihat kedekatan yg terlihat antara teman-teman sebayaku dengan ibunya, tapi kuhibur diri dengan keyakinan bahwa aku juga bisa merasakan kedekatan itu walau hanya dalam mimpi dan imajinasiku.

Aku masih bisa bersyukur dan merasa beruntung bahwa aku dan kedua saudaraku tidak serta merta harus menjadi yatim piatu dan ditinggalkan oleh kedua orang tuaku yg disebabkan oleh kecelakaan ataupun musibah bencana alam yang bisa jadi meninggalkan dengan rasa trauma. Meski dengan menjadi piatu, aku masih bisa merasakan kasih sayang dari seorang ayah yg merangkap tugas menjadi single parent, mengisi peran yg seharusnya dilakukan oleh seorang ibu, mengajarkan cara memasak, menyuci, dan aktifitas merawat rumah secara mandiri dan disiplin. Ayah juga mengajarkan tentang pentingnya menimba ilmu setinggi-tingginya bahkan ayah memutuskan untuk tidak menikah lagi agar ayah bisa fokus bekerja untuk memastikan kami mendapatkan pendidikan yg terbaik untuk kami anak-anaknya. Hingga sebelum ayah menghembuskan nafas terakhirnya ayah mampu menyekolahkan kami bertiga hingga kami merasakan nikmatnya pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Kata-kata yg selalu ayah tanamkan pada kami bahwa ayah tidak akan mewarisi kami harta benda yg berlimpah namun ayah berharap dengan ilmu yg kami dapatkan lah kami bisa mendapatkan apa saja yg kami inginkan.

Ayah hanyah seorang Pegawai Negeri Sipil yg berprofesi dibidang hukum. Ayah memulai karirnya dari bawah, bahkan dimasa mudanya sebelum mendapatkan pekerjaan ini ayah hanyalah seorang pembawa becak di pagi hingga sore hari dan penjaga warung kopi di malam hari. Semua ayah lakukan agar adik-adik ayah bisa mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Figur ayah yg pekerja keras, tak suka mengeluh dan disiplin tinggi membuat sosok ayah terlihat menakutkan dan menyeramkan, namun dibalik itu ayah adalah sosok hangat yg mencintai dan menyayangi keluarganya dengan caranya sendiri.

Kenyataan bertambahnya 'status' yatim piatu setelah 9 tahun hanya menjadi piatu bermula dari dinyatakannya ayah telah menghembuskan nafas terakhirnya oleh kakakku dan perawat IGD yg bertugas saat ayah kami larikan ke rumah sakit pasca ayah mengalami sesak nafas dan menghembuskan nafas terakhirnya tepat didepan mataku pada hari minggu tanggal 5 Desember 2010. Saat itu kami berdua tengah tidur siang bersama dan tak ku sangka ayah terkena serangan jantung yang menjadi penyebab kematian ayah. Kepergian ayah terjadi begitu cepat mebuatku merasa percaya-tidak percaya apakah ini hanya mimpi buruk atau kenyataan yang harus segera bisa diterima.Tanpa banyak airmata yang bisa keluar dari pelupuk mataku, kami bersaudara memutuskan untuk ayah dikebumikan di kampung halamannya sebagaimana ia pernah berpesan padaku jika sesuatu yang buruk terjadi padanya nanti

Move on, begitu bahasa lah bahasa kerennya untuk kami yang saat itu masih dirundung duka cita. Selepas ayah pergi, kehidupan kami harus tetap dilanjutkan, meski akan sulit dimasa-masa awal saat sunyi dan sendiri rindu akan melanda dan menyelinap perlahan di relung hati kami. Selepas ayah pergi, kami tetap melanjutkan pendidikan kami, pada masa itu kak dewi sebagai kakak sulung masih mengambil kepaniteraan senior (ko-Asistensi) untuk profesi dokternya. Bang iyan juga tetap berkuliah sambil bekerja sebagai supir angkutan umum (labi-labi) disela-sela waktu kosongnya. Kondisi keuangan kami saat itu hanya bertumpu pada penghasilan sehari-hari hasil menadi supir labi-labi dan uang bulanan pensiun ayah. Berhemat sudah pasti harus kami lakukan agar biaya pendidikan kami bisa terbayarkan tanpa ada seorangpun yang harus putus kuliah. Aku bersyukur karena aku mendapatkan beasiswa untuk biaya kebutuhan kuliahku termasuk SPP setiap semesternya. dan saat itu yang paling terasa bahwa Allah itu Maha mencukupkan dan Maha pemberi rezeki kepada hamba-Nya, tidak pernah seharipun kami lewati dengan kondisi sangat kekurangan. Ada saja rezeki yang datang dari mana saja dan kapan saja.

Waktu pun berlalu hari demi hari, bulan dan tahunpun berganti, kak dewi pun telah menyelesaikan kuliah profesinya dia berhasil menyandang gelar dokternya, sebuah gelar yang diidamkan oleh ayah. Kak dewi memutuskan untuk mengabdi sebagai dokter tidak tetap di provinsi Papua di daerah sangat terpencil dan jauh selama 2 tahun, dan menjadi tulang punggung keluarga membantu biaya pendidikan aku dan abang sampai selesai. Meskipun memakan waktu yang lama, akhirnya abang juga menyelesaikan pendidikannya. Abangku kini bekerja di salah satu lembaga sosial di Sumatera Barat. Sementara aku masih harus melanjutkan pendidikan profesi untuk meraih gelar profesi dokter hewan selama setahun setelah menamatkan pendidikan Sarjana  bertepatan dengan hari ibu tahun 2014. 

Dan hari ini, 5 Desember 2016. Bertepatan dengan enam tahun setelah kepergian ayah, dan tepat enam tahun pula kami menjadi yatim piatu, aku sudah menyelesaikan pendidikan profesi dokter hewan dan berhak mendapatkan gelar dokter hewan sebagaimana cita-cita yang ayah pilihkan untukku dan inilah kisah kami sebagai yatim piatu dan tentu saja kisah ini bukanlah sebuah kisah sedih yang harus ditangisi. Tapi aku berharap kisah ini dapat memotivasi, walaupun kedua orang tua sudah lebih dahulu menghadap Yang Maha Kuasa, namun semangat dan nasihatnya tetap dijaga.

sebagai penutup kisah ini marilah kita bacakan doa untuk kedua orang tua kita,
اَللهُمَّ اغْفِرْلِىْ ذُنُوْبِىْ وَلِوَالِدَىَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِىْ صَغِيْرًا
Ya Allah, berikanlah ampunan kepadaku atas dosa-dosaku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah keduanya sebahgaimana beliau berdua merawatku ketika aku masih kecil.
Aamiin yaa Rabbal Alamiin

mesin penerjemah ^^